(Doc-Pinterest)
Mataram, bukaberita.co.id – Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa, menilai kewajiban pembayaran royalti musik yang Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terapkan berpotensi menambah beban pelaku usaha. Khususnya bagi pengusaha perhotelan yang sudah menanggung pajak pusat dan daerah. Ia pun meminta agar ada kajian ulang sebelum kebijakan ini benar-benar berlaku.
Menurut I Made, perhitungan sistem penarikan royalti di hotel berdasarkan jumlah kamar, berbeda dengan restoran atau kafe yang menggunakan hitungan jumlah kursi. “Jadi pihak hotel harus bayar royalti lagu berdasarkan jumlah kamar. Kalau resto atau kafe kan bayarnya berdasarkan jumlah kursi. Nah, kalau hotel dari 0-50 kamar terkena berapa. Lalu, hotel dengan 50-100 kamar akan terkena berapa,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, tagihan dari LMKN datang secara mendadak, tidak lama setelah mencuatnya kasus sengketa royalti musik di gerai Mie Gacoan Bali. “Teman-teman hotel sudah mendapat surat. Menurut LMKN, semua usaha yang menyediakan sarana hiburan seperti musik wajib bayar royalti. Teman-teman di hotel sudah komentar kalau hotel nggak mutar musik. Tapi jawaban LMKN, kan di kamar ada TV, TV itu bisa untuk mendengarkan musik oleh tamu. Itu argumen mereka,” ujarnya.
Berdasarkan pengakuan sejumlah pengusaha hotel, cara penagihan tersebut terasa menekan. “Dari cerita teman-teman hotel, cara nagihnya itu seperti kita ini berutang besar. Mereka tanya kapan bayarnya. Untuk sementara ini saya minta teman-teman hotel yang mendapat tagihan untuk minta ruang diskusi kepada LMKN,” paparnya. (Red)